MEMBUNUH RAKYAT ATAS NAMA DEMOKRASI
Satu hal yang sering disebut-sebut merupakan nilai unggul demokrasi adalah bahwa sistem ini cerminan dari suara rakyat. Karena itu, sistem ini dianggap dianggap yang terbaik, karena tegak atas nama rakyat.
Namun, praktiknya tidaklah seperti yang diangankan dalam teorinya. Pemilu dan pemerintahan atas nama rakyat sering dicatut untuk kepentingan yang justru bertentangan dengan rakyat. Inilah yang sekarang jelas-jelas dipraktikkan Amerika Serikat, Negara kampiun demokrasi, di negeri-negeri Islam.
Di Irak, AS membentuk pemerintahan Irak yang sering diklaim sebagai cerminan wakil rakyat hanya karena dipilih oleh Dewan Pemerintahan Irak. Ghazi al-Yawar menjadi presiden pertama Irak setelah berakhirnya era Saddam Hussein, sementara roda pemerintahan dijalankan perdana menteri Irak Iyad Allawi. Pemerintahan ‘demokratis’ ini kemudian menangkap, memenjara, membunuh, dan memerangi para pejuang Irak di Falluja, Najaf, dan daerah-daerah Irak lainnya. Dengan mengantongi legitimasi atas nama pemerintahan Irak, siapapun yang tidak sejalan dengan kepentingan penguasa Irak, yang sejatinya AS di belakangnya, dicap sebagai teroris, pengacau, atau pengganggu rekonstruksi (pembangunan) Irak; seakan-akan semua tindakan pemerintahan Ghazi dan Allawi saat ini adalah legal hanya karena klaim atas nama rakyat.
Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah : benarkah pemerintahan baru ini mencerminkan kehendak rakyat Irak. Benar memang, Ghazi al-Yawar dipilih oleh dewan pemerintahan Irak. Persoalannya, apakah dewan pemerintahan Irak ini dipilih oleh rakyat Irak? Kenyataannya, jelas tidak, karena yang membentuknya adalah AS. Sejauhmana pula pemilihan Ghazi dan Allawi ini lepas dari campur tangan AS?
Jadi, klaim atas nama rakyat untuk memerangi pihak yang menentang pendudukan AS jelas rapuh.
Hal yang sama bisa kita lihat di Chechnya. Terpilihnya Alu Alkhanov dengan kemenangan yang cukup besar (74%) menjadi legitimasi sendiri bagi Alkhanov. Tampak dari pernyataan pertama Alkhanov tentang pejuang Chechnya yang sering dituduh Rusia sebagai separatis, “Para ekstremis bisa saja membunuh dan membuat ledakan, namun tekad rakyat telah melemparkan mereka ke keranjang sampah sejarah.”
Bisa kita pastikan, dengan klaim atas nama rakyat, Alkhanov akan memerangi pihak-pihak yang menentang Rusia di Chechnya. Semuanya akan menjadi legal, sebab dia terpilih ‘atas nama rakyat’; meskipun tentu saja, yang memerangi pejuang Chechnya bukanlah pasukan Alkhanov pasukan Rusia dengan persenjataan canggihnya. Kritikan bahwa pemilu ini curang pun pastilah diabaikan seiring dengan perjalanan waktu; termasuk sedikit yang peduli, siaoa sebenarnya Alkhanov, yang begitu setia kepada Rusia.
Pemilu yang diklaim paling demokratis juga akan diadakan di Afghanistan untuk memilih wakil rakyat dan pemerintahan ‘atas nama rakyat’. Rencana pemilu pertama pasca pemerintahan Taliban ini telah diadakan. Hamid Karzai yang didukung AS diduga kuat akan memenangkan pemilu ini. Melihat kasus Irak dan Chechnya, pemilu Afghanistan juga bisa bernasib sama. Pemilu hanya digunakan untuk kepentingan penjajah dan elit politik yang berkerjasama dengan penjajah. Dengan klaim atas nama rakyat pada akhirnya segala tindakan pemerintah boneka asing ini menjadi legal meskipun untuk memerangi rakyatnya sendiri.
Walhasil, demokrasi di Dunia Islam pada akhirnya tidak lebih merupakan alat bagi kepentingan Negara-negara penjajah seperti Rusia dan AS.
Tentu tidak ada yang menginginkan pemerintah yang dibentuk lewat pemilu 2004 di Indonesia juga menjadi pembunuh rakyat atas nama demokrasi. Dengan mengantongi ‘legitimasi’ yang besar dari rakyat, karena dipilih langsung oleh rakyat, sangat mungkin pemerintah akan melegitimasi kebijakannya atas nama rakyat, meskipun tindakan tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat. Membunuh rakyat bukan berarti harus menembakkan peluru dan menjatuhkan bom di tengah-tengah rakyat, seperti yang terjadi di Irak, Afghanistan, dan Chechnya; tetapi bisa lewat kebijakan ekonomi yang menyengsarakan rakyat. Menaikkan BBM dan tariff listrik atau membiarkan rakyat sakit karena biaya pengobatan dan rumah sakit yang mahal juga dapat membunuh rakyat.
Karena itu, siapapun presiden yang terpilih, ia harus mampu menolak secara tegas praktik-praktik kapitalisme yang selama ini menjadi pangkal pembunuhan rakyat. Bukankah naiknya BBM, penjualan aset Negara atas nama privatisasi, atau pendidikan yang menjadi industri merupakan akibat praktik kapitalisme?
Untuk tidak membunuh rakyat, presiden terpilih juga harus berani menolak untuk menjadi ‘pesuruh’ Negara imperialis AS dalam perang globalnya melawan terorisme. Sebab, atas nama perang melawan terorisme, tidak sedikit rakyat yang belum tentu bersalah dilanggar hak-haknya. Mereka ditangkap, disiksa, atau hilang tanpa jejak. Semua ini seakan benar karena mereka teroris. Kalau tidak ada perubahan, bisa jadi rakyat tinggal menunggu, pemerintahan yang terpilih kembali membunuh rakyat, atas nama demokrasi.
Bisakah presiden terpilih bersikap tegas menolak membunuh rakyat, menolak menyengsarakan rakyat, dan menolak menjadi pesuruh AS serta meneror rakyatnya sendiri? Dengan sangat yakin kami katakana, “Bisa!”. Syaratnya, presiden terpilih, berikut pemerintah yang terbentuk, mau menjadikan Islam yang diyakini kebenarannya oleh 202 juta diantara 232 juta penduduk negeri ini sebagai pandangan hidup dalam bernegara dan bermasyarakat, serta menolak sekularisme dengan menegakkan Khilafak yang menerapkan hukum-hukum Islam. Sebab, hanya dengan itu, pemerintah yang terpilih tidak akan menjadi pembunuh rakyatnya.
Wallahu a’lam
Minggu, 27 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar