Minggu, 27 Juli 2008

Kegagalan Kapitalisme
Menuntaskan Kemiskinan

T
erpuruknya perekonomian kita bukanlah sesuatu yang luar biasa, karena hampir seluruh negara di dunia tengah mengalami masa-masa sulit di bidang ekonomi. IMF dan Bank Dunia (yang disetir oleh AS dan sekutunya) dianggap oleh banyak kalangan telah gagal menjalankan fungsinya membantu problematika ekonomi dan keuangan yang dialami oleh banyak Negara Dunia Ketiga. Alih-alih resepnya manjur dan bisa membangkitkan perekonomian, yang terjadi malah pasiennya (yang terdiri dari banyak Negara miskin) harus diamputasi atau dibiarkan sekarat.
Dalam memecahkan masalah kemiskinan tersebut, sistem kapitalis yang diusung Negara maju menawarkan beberapa solusi yang diberlakukan di sebagian besar Negara berkembang sebagai berikut:
1. Menambah bantuan luar negeri (utang LN) bagi negara-negara berkembang.
Dengan alasan pembangunan, utang luar negeri kemudian dianggap sebagai solusi. Kesalahan fatal berikutnya, menganggap utang luar negeri sebagai bentuan luar negeri, karena dianggap bantuan, maka dalam pos penerimaan APBN disebut Penerimaan Pembangunan (padahal bukan penerimaan dari hasil pembangunan, tetapi dari utang luar negeri yang harus dikembalikan di kemudian hari). Akhirnya, utang Negara ini terus menumpuk dan harus dibayar.
Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang menjadi beban Indonesia pada tahun 2005 akan mencapai Rp 46,84 triliun dibanding dengan tahun 2004 sebesar Rp 44,38 triliun. Di samping itu, Indonesia juga harus membayar bunga utang yang pada tahun 2005 akan berjumlah Rp 5,14 triliun.
2. Membuka investasi asing dalam segala bidang.
Kebijakan investasi di Indonesia tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.20 tahun 1994. Di dalamnya antara lain ada ketentuan yang memberikan peluang sangat luas kepada investor asing untuk menanamkan modalnya ke Indonesia. perusahaan domestik boleh menjual sampai 95% sahamnya kepada pemilik modal asing. Modal asing boleh menguasai 100 persen saham (PMA murni). Asing diberi izin untuk menguasai sarana-sarana yang menguasai hajat hidup orang banyak, antara lain pelabuhan, listrik, telekomunikasi, dan pertambangan minyak.
Akibat penguasaan aset-aset penting milik publik ini, masyarakat harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan barang tersebut. Misalnya, bagaimana PLN harus membeli listrik dari swasta dengan harga yang lebih mahal sehingga ia pun harus menjualnya lagi kepada rakyat lebih mahal. Belum lagi ekses rusaknya ekosistem akibat limbah industri dan dampak buruk yang kita tanggung sampai hari ini, seperti kasus Buyat di Minahasa oleh pertambangan emas Newmount.
3. Memberlakukan sistem perdagangan bebas.
Tujuan dari perdangan bebas adalah memperkecil atau menghilangkan intervensi dan campur tangan Negara dalam perdagangan khususnya dan dalam perekonomian pada umumnya. Dari sini, lahirlah antara lain kebijakan seperti GATT (General Agreement on Tariff and Trade). Pendirian WTO (World Trade Organization), dll dalam rangka menghapuskan hambatan tariff dan membuka pasar-pasar internasional bagi produk-produk Negara maju. Naun, bukannya persaingan bebas yang terjadi, yang ada adalah dominasi Negara kaya terhadap Negara berkembang dalam hal modal dan produk. Bahkan, dengan perdagangan pasar bebas, produk-produk (barang maupun ide) yang berbahaya yang tidak sesuai dengan budaya setempat dapat masuk dan akhirnya dapat menghancurkan ekonomi sekaligus budaya lokal.
4. Membuat kebijakan yang bukan pada akarnya.
Akar kemiskinan yang terjadi saat ini dipandang oleh sebagian pakar pembangunan disebabkan kualitas sumber daya manusia yang rendah. Oleh karena itu, dibuatlah kebijakan bagaimana meningkatkan kualitas sumber daya manusia tersebut dengan melakukan pendidikan dan pelatihan. Namun, kebijakan tersebut tidak akan optimal apabila pemerintah tidak membuka peluang kesempatan pekerjaan yang luas dan sistem ketenagakerjaan yang adil.
5. Privatisasi BUMN.
Penjualan aset-aset publik melalui BUMN jelas hanya merupakan langkah jangka pendek yang irasional. Sebab, jika dana habis maka akan terulang lagi proses penjualan BUMN. Jika semua aset BUMN terjual habis, maka tidak ada cara lain, pemerintah pada akhirnya akan menggenjot pendapatan lewat sektor pajak, yang berarti rakyat lagi yang harus menanggungnya.

Beberapa faktor penyebab kemiskinan.
1. Pemerintah melepaskan diri dari tanggung jawabnya.
Pemenuhan kebutuhan pokok yang merupakan dasar kesejahteraan individu-individu masyarakat seperti kebutuhan sandang, pangan, papan; demikian pula kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Ketika individu, kerabat, dan masyarakat sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan pokoknya, maka islam mengalihkan kewajiban pemenuhan kebutuhan pokok tersebut kepada Negara. Namun, yang terjadi saat ini, Negara melepaskan diri dari tanggung jawab dalam pengurusan umat. Jaminan atas pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat juga semakin jauh.
2. Berkembangnya ekonomi non-riil dan macetnya ekonomi riil.
Sektor non-riil dibangun berdasarkan asas kepercayaan, yang tidak didukung oleh barang ekonomi secara empirik ada dan nilainya sama dengan beredar di pasar riil (seperti mata uang emas dan perak misalnya). Jadi, yang mereka transaksikan adalah khayalan dan bersifat bohong-bohongan karena dibangun atas dasar kepercayaan saja. Hal ini akan mengganggu kesetimbangan ekonomi, yang pada suatu saat harga yang diciptakan oleh mereka akan hancur.
3. Mata uang yang bergantung pada dolar.
Jika dicermati, krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan juga Negara-negara di belahan lain dipicu oleh nilai mata uang suatu Negara yang pasti terikat (tergantung) pada mata uang Negara lain (misalnya rupiah terhadap dolar AS). Akibatnya, nilainya tidak pernah stabil. Jika dolar bergolak, pasti akan mempengaruhi kestabilan mata uang rupiah. Faktor non-ekonomi yang turut menjadi penyebab terjadi depresiasi mata uang adalah spekulasi. Bagaimana para spekulan bisa mengguncang mata uang suatu Negara dengan memborong dolar seperti yang terjadi di Thailand, Indonesia, dan Argentina.
4. SDM yang rendah.
Berdasarkan hasil penelitian The Political and Economic Risk Consultacy (PERC) medio September 2001 dinyatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia diurutan 12 dari 12 negara Asia, bahkan lebih rendah daripada Vietnam. Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian Program Pembangunan PBB (UNDP) pada tahun 2000, kualitas SDM Indonesia menduduki urutan ke-109 dari 174 negara atau sangat jauh dibandingkan dengan Singapura yang berada pada urutan ke-24, Malaysia pada urutan ke-61, Thailand urutan ke-76, dan Filipina urutan ke-77.
5. Kebocoran dan korupsi yang tinggi.
Menurut survei yang dilakukan oleh organisasi ratting Political and Economic Risk (PERC) Hongkong, pada tahun 2002 Indonesia menduduki peringkat I dalam hal korupsi di Asia dengan nilai 9,92 disusul India (9,17), Vietnam (8,25), Filipina (8,00), RRC (7,00), Taiwan (5,83), Korsel (5,75), Malaysia (5,71), Hongkong (3,33), Jepang (3,25), dan Singapura (0,90).
6. Daya saing produk yang rendah.
Indonesia merupakan salah satu Negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Konsekuensinya, Indonesia harus siap menghadapi persaingan ketat dengan Negara-negara lain. Akan tetapi, perkembangan indeks daya saing Indonesia mengalami keterpurukan dan masih terus berlangsung hingga tahun 2003 mencapai posisi terendah dibandingkan dengan Negara Asean lainnya.

Solusi Islam
1. Pengaturan dan pengelolaan kepemilikan.
Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini dalam tiga aspek: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan Negara.
Adanya kepemilikan individu ini menjadikan seseorang termotivasi untuk berusaha mencari harta guna mencukupi kebutuhannya.
Aset yang tergolong kepemilikan umum tidak boleh dimiliki sama sekali oleh individu, atau dimonopoli oleh sekelompok orang. Dalam praktiknya, kepemilikan umum ini dikelola oleh Negara dan hasilnya dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk harga yang murah atau bahkan gratis.
Adanya kepemilikan Negara dalam islam jelas menjadikan Negara memiliki sumber-sumber pemasukan dan aset-aset yang cukup banyak. Dengan begitu, negara akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat, termasuk memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan masyarakat miskin.
Sementara itu, pengelolaan kepemilikan mencakup pengembangan dan penyaluran harta. Dengan adanya pengaturan pengelolaan kepemilikan, harta akan beredar di masyarakat. Perekonomian menjadi berkembang, dan kemiskinan bisa diatasi.
2. Distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat.
Buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat menjadi penyebab terjadinya kemiskinan. Di antara hukum islam yang mengarah pada terciptanya distribusi kekayaan adalah kewajiban Negara untuk mendistribusikan harta kepada individu rakyat yang membutuhkan.
3. Jaminan kebutuhan pokok dan kebutuhan vital kolektif oleh Negara.
Barang-barang berupa pangan, sandang, dan papan (perumahan) adalah kebutuhan pokok (primer) manusia yang harus dipenuhi. Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari kebutuhan tersebut. (Lihat: QS Al Baqarah: 233; QS At Thalaq: 6). Keamanan, kesehatan, dan pendidikan juga merupakan tiga kebutuhan jasa asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Negaralah yang menjamin dan menerapkannya berdasarkan syariat islam.
4. Mata uang yang disandarkan pada emas.
Islam telah menentukan standar mata uangnya, yaitu dinar (emas) dan dirham (perak) yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, dan dilegalisasi oleh Negara Khilafah Islamiyah. Segala bentuk transaksi ekonomi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang berhubungan langsung dengan Negara dan kaum muslim wajib merujuk pada standar baku tersebut.
Penentuan standardisasi mata uang pada emas dan perak dapat dipahami dari beberapa ketentuan berikut ini:
1. Dengan tegas al-Qur’an mengharamkan seseorang untuk menimbun emas ataupun perak sebagai alat tukar/mata uang (medium of exchange). (Lihat: QS At Taubah: 34).
2. Islam telah menghubungkan standar emas dan perak dengan beberapa hukum yang bersifat fixed, tidak berubah, misalnya diyat (denda) bagi khusus pembunuhan yang tidak disengaja, atau kasus potong tangan bagi seorang pencuri, dikaitkan dengan batasan 1000 dinar emas (yang senilai dengan 100 ekor unta) dan ¼ dinar emas.
3. Rasulullah saw telah merujuk seluruh istilah yang berhubungan dengan nilai uang (tatkala menentukan barang ataupun jasa) pada emas dan perak. Beliau saw, telah melegalisir istilah-istilah ‘uqiyah, dirham, daniq, qirath, mitsqal, an dinar.
Masyarakat saat itu sudah mengenal istilah-istilah tersebut dan mereka secara otomatis menghubungkannya dengan emas dan perak. Bahkan, Rasulullah saw telah menentukan berat timbangan emas dan perak merujuk pada timbangan penduduk makkah.
4. Penentuan nishab bagi harta zakat, terutama zakat mal, yang ditujukan pada mata uang emas (dzahab) dan perak (fidhah) memastikan standardisasi yang dilegalisasi oleh hukum zakat mal adalah emas dan perak.
5. Hukum-hukum pertukaran mata uang (money changer) yang disebutkan dalam banyak hadits Nabi saw, senantiasa dinyatakan dengan emas dan perak.
5. Peningkatan kualitas SDM oleh Negara.
Dalam pandangan islam, pendidikan merupakan hak setiap warga Negara, tanpa membedakan martabat, usia, maupun jenis kelamin. Hal ini didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw, yang telah mengajarkan hukum-hukum islam kepada kaum Muslim secara keseluruhan dan memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengkajian ilmu-ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum.
Perhatian Rasulullah saw tidak terbatas pada ilmu-ilmu islam saja, tetapi juga terhadap ilmu pengetahuan umum seperti ilmu pertanian, teknik industri, teknik pembuatan senjata perang, ilmu kedokteran, dan lain sebagainya yang termasuk ilmu pengetahuan umum.
6. Sanksi keras terhadap perilaku pembocoran kas Negara.
Abdurrahman al-Maliki, dalam buku Sistem sanksi dalam islam, menyebutkan bagi seseorang yang menggelapkan uang atau yang sejenisnya dikenakan ta’zir 6 bulan sampai 5 tahun penjara. Namun demikian, itu masih dipertimbangkan sesuai dengan jumlah yang dikorup. Jika jumlah uang yang dikorup mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi Negara, koruptor bisa dihukum mati.
Sementara itu, Abdurrahman al-Baghdadi dalam Serial Hukum Islam, menguraikan bahwa bagi para pelaku KKN di dunia harus diberi ta’zir antara lain berupa publikasi kecurangannya itu secara luas agar jangan ada orang yang menaruh kepercayaan kepadanya. Jika yang bersangkutan memangku jabatan dalam pemerintahan, secara otomatis harus dipecat dari jabatannya.

Tidak ada komentar: